JAKARTA – Selama lebih dari sepekan, tepatnya. Mulai 10-18 Februari 2025, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan pemantauan secara intensif terhadap peredaran dan pemasaran kosmetik ilegal di media sosial, termasuk yang viral di masyarakat.
Lalu, bagaimana hasilnya? BPOM menemukan pelanggaran dan dugaan kejahatan produksi dan distribusi kosmetik ilegal senilai lebih dari Rp 31,7 miliar.
“Jumlah ini meningkat signifikan sebesar lebih dari 10 kali lipat dibandingkan pengawasan tahun 2024,” ungkap Kepala BPOM, Taruna Ikrar, dalam keterangan resmi yang diperoleh Media, Senin (24/2/2025).
Dari 709 sarana yang diperiksa, Taruna Ikrar mengatakan sebanyak 340 sarana atau 48 persen tidak memenuhi ketentuan.
Kuta dia, penemuan ini melibatkan pabrik, importir, pemilik merek, distributor, klinik kecantikan, re-seller, dan retail kosmetik yang terindikasi memperdagangkan atau memproduksi kosmetik ilegal.
“Petugas BPOM menemukan 205.133 pieces kosmetik ilegal (4.334 item/varian) dari 91 merek yang beredar,” ungkap Taruna Ikrar lebih lanjut.
Temuan ini, sambungnya lagi, terdiri dari 79,9 persen kosmetik tanpa izin edar, 17,4 persen mengandung bahan dilarang atau berbahaya, termasuk skincare beretiket biru yang tidak sesuai ketentuan.
Selanjutnya, beber Taruna Ikrar, adalah 2,6 persen kosmetik kedaluwarsa, dan 0,1 persen merupakan kosmetik injeksi.
Pihaknya melihat mayoritas produk ilegal tersebut merupakan kosmetik impor atau 60 persen yang viral di media daring atau online dan yang tidak sesuai ketentuan sebagaimana daftar pada lampiran sangat berisiko membahayakan kesehatan.
“BPOM bukan saja menemukan kegiatan distribusi kosmetik tanpa izin edar, melainkan juga adanya dugaan tindak pidana berupa kegiatan produksi kosmetik mengandung bahan dilarang/berbahaya,” ucap Taruna Ikrar.
“Termasuk pembuatan skincare beretiket biru secara massal. Kami juga menemukan adanya pelanggaran yang berulang, yang menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan yang disengaja,” urai Taruna Ikrar lagi.
Adapun bahan terlarang yang ditambahkan pada kegiatan produksi kosmetik tersebut di antaranya: hidrokinon, asam retinoat, antibiotik, dan steroid.
Hidrokinon berpotensi mengakibatkan hiperpigmentasi, menimbulkan ochronosis, serta perubahan warna kornea dan kuku.
Asam retinoat dapat mengakibatkan kulit kering, rasa terbakar, dan perubahan bentuk atau fungsi pada organ janin (bersifat teratogenik).
Antibiotik berpotensi mengakibatkan hipopigmentasi, menimbulkan iritasi, menimbulkan bercak kemerahan padat kulit (eritema), dan risiko resistansi antibiotik.
“Sedangkan, steroid dapat menyebabkan terjadinya biang keringat, atrofi kulit, perubahan karakteristik kelainan kulit, hipertrikosis, fotosensitif, perubahan pigmen kulit, dermatitis kontak, dan reaksi alergi,” beber Taruna Ikrar.
Taruna Ikrar menyebutkan bahwa temuan produk kosmetik ilegal ini diperoleh dari seluruh wilayah Indonesia, namun terdapat beberapa wilayah dengan angka temuan yang signifikan.
Yogyakarta merupakan wilayah dengan temuan terbanyak hingga mencapai lebih dari Rp 11,2 miliar, diikuti dengan temuan di Jakarta yang mencapai lebih dari Rp 10,3 miliar.
“Bogor dengan temuan lebih dari Rp 4,8 miliar, Palembang dengan temuan mencapai Rp1,7 miliar, dan Makassar temuannya mencapai Rp 1,3 miliar,” tutur Taruna Ikrar.
“Angka temuan ini menunjukkan bahwa peredaran kosmetik ilegal masih menjadi permasalahan yang perlu diwaspadai, terutama di daerah-daerah dengan tingkat konsumsi kosmetik yang tinggi,” tegas Taruna Ikrar selaku Kepala BPOM.***
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari.