JAKARTA – Suasana di Istana Negara mendadak mencekam saat Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kebijakan paling kontroversial dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dengan suara baritonnya yang tegas, ia menyatakan bahwa mulai hari ini, siapa pun yang terbukti mencuri uang negara bahkan hanya Rp1 akan menghadapi hukuman mati. Pernyataan tersebut langsung meledak seperti dinamit di tengah ruang konferensi yang dipenuhi pejabat dan jurnalis. Banyak yang awalnya mengira ini hanyalah retorika kampanye yang tak akan pernah terwujud. Namun, dalam hitungan menit, kebijakan ini resmi dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), memberikan kewenangan luar biasa bagi Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menindak para pelaku tanpa ampun.
Reaksi pun beragam. Media sosial meledak dengan dukungan dari masyarakat yang sudah muak dengan korupsi. Namun, di sisi lain, banyak pejabat mulai gelisah. Beberapa langsung mengecek ulang laporan keuangan mereka, sementara yang lain bahkan dikabarkan mengalami serangan jantung akibat ketakutan. Para pengusaha yang selama ini terbiasa bermain di zona abu-abu pun mulai panik, takut terbawa arus kebijakan baru yang ekstrem ini.
Di kantor-kantor pemerintahan, suasana berubah drastis. Seorang kepala dinas di Jawa Tengah yang pernah menggelapkan dana operasional sebesar Rp3.750 untuk rapat fiktif, mendadak didatangi petugas KPK. Pejabat yang dulu menganggap “uang kecil” bukan masalah, kini justru bisa berakhir di hadapan regu tembak. Di kementerian-kementerian, banyak pegawai yang memilih menunda keputusan anggaran karena takut salah langkah, menyebabkan birokrasi yang sudah lambat menjadi semakin lumpuh.
Tak hanya di birokrasi, efek domino kebijakan ini mulai terasa di sektor usaha. Kontraktor mengeluh karena pejabat daerah kini terlalu takut menandatangani pencairan dana proyek. Banyak proyek infrastruktur yang sempat berjalan tiba-tiba terhenti karena ketakutan pejabat untuk mengambil keputusan. Di berbagai daerah, kepala dinas mulai mengundurkan diri secara diam-diam, lebih memilih pensiun dini daripada menghadapi risiko hukuman mati akibat kesalahan administrasi yang mungkin terjadi.
Di tengah kepanikan ini, beberapa kepala daerah mencoba meminta kejelasan hukum terkait batasan korupsi skala kecil, namun hingga kini belum mendapat jawaban. Sementara itu, KPK mulai kewalahan menangani ribuan laporan yang masuk, sebagian besar justru berasal dari para pejabat yang ingin menyelamatkan diri dengan menyerahkan kolega mereka sendiri. Fenomena saling lapor antarpejabat meningkat tajam, menciptakan ketidakpercayaan di antara mereka yang dulu bekerja sama dalam sistem yang korup.
Indonesia kini memasuki babak baru dalam perang melawan korupsi. Namun, dengan kepanikan yang melumpuhkan pemerintahan dan ketakutan yang meluas di kalangan birokrat, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini akan menjadi langkah revolusioner yang benar-benar membersihkan negara, atau justru menciptakan kekacauan baru yang sulit dikendalikan.***
Redaksi
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari.